Sub Koordinator bidang SDM dan Transmigrasi menghadiri FGD penyusinan Peraturan Bupati tentang ketahanan pangan berkelanjutan. Acara tersebut dilaksanakan di Rumah Makan Duta Q jalan Ronggowarsito. Kegiatan dimaksud diselenggarakan oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan.
Meskipun relatif tinggi, tingkat pertumbuhan produksi pertanian saat ini masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan 9,6 miliar penduduk dunia pada tahun 2050 nanti. Produksi pangan diperkirakan perlu meningkat sebesar 100% untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Tillman, 2011). Hal ini salah satunya disebabkan oleh turunnya produksi pangan dunia akibat tekanan dari perubahan iklim.
Masalah ini juga mengancam ketahanan pangan Indonesia. Berdasarkan laporan Neraca Bahan Makanan yang dikeluarkan oleh Badan Pangan Nasional pada tahun 2018-2020, belum semua pangan strategis Indonesia dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Sejumlah pangan utama masih harus dipenuhi dari impor, termasuk kedelai (80-90% impor), gula pasir (65-70% impor), bawang putih (90-95% impor) dan daging sapi (25-30% impor). Jika produksi dunia untuk pangan strategis tersebut terganggu, maka akan sangat berpengaruh pada kondisi pangan nasional.
Risiko yang dihadapi ketahanan pangan global ini diperparah dengan rendahnya diversifikasi pangan dunia. Produk utama dari hasil pertanian dunia adalah padi-padian (cereals), gula dan minyak nabati. Khusus jenis padi-padian, 90% produksinya didominasi oleh jagung, beras dan gandum. Hal ini mengindikasikan tingginya ketergantungan dunia atas komoditas pangan tertentu.
Di sisi lain, malnutrisi masih menjadi masalah kesehatan yang besar di Indonesia. Setidaknya, ada 23 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi asupan gizi berimbang (undernourished) setiap hari. Selain itu, berbagai masalah kesehatan yang berkaitan dengan gizi dan nutrisi seperti stunting, obesitas, dan berbagai penyakit bawaan akibat pola makan juga menjadi tantangan untuk Indonesia. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan kepada remaja putri di 335 sekolah di daerah Jawa Barat menyebutkan bahwa 45% remaja putri tersebut mengalami anemia dan 18% obesitas yang keduanya berkaitan dengan pola makan (Agustina et al., 2020).
Fenomena-fenomena di atas adalah akibat dari sistem pangan yang mewarisi kebijakan-kebijakan sejak puluhan tahun yang lalu. Contohnya, pembukaan lahan besar-besaran untuk pertanian yang menyebabkan degradasi hutan atau berbagai kebijakan mengutamakan beras yang menyebabkan hilangnya diversifikasi pangan terutama karbohidrat di masyarakat. Karena itu, mengubahnya juga memerlukan proses yang transformatif. Sistem pangan adalah seluruh elemen (lingkungan, manusia, input, proses, infrastruktur, institusi, dan lain-lain) dan aktivitas yang berhubungan dengan produksi, processing, distribusi, persiapan, dan konsumsi dari makanan dengan keluaran dari proses ini termasuk di dalamnya dampaknya kepada sosial ekonomi dan juga lingkungan (HLPE Report, 2017).
Melihat kompleksitas permasalahan pangan, diperlukan perubahan multi-pilar untuk mewujudkan transformasi sistem pangan di Indonesia. Hal ini dilakukan oleh Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL), bagian dari Food and Land Use Coalition (FOLU), yaitu komunitas global pembuat perubahan yang bekerja bersama para mitra guna mentransformasikan sistem pangan dan tata guna lahan dunia, melalui penyusunan solusi berbasis sains dan aksi kolektif yang ambisius.
Diawali dengan Ten Critical Transition to Transform Food and Land Use yang kemudian dilengkapi dengan berbagai studi, proyek, dan berbagai diskusi, KSPL pun merumuskan empat pilar yang diperlukan untuk transformasi sistem pangan di Indonesia, yaitu: pola makan yang sehat yang berbasis pada sumber daya dan kearifan lokal, produksi berkelanjutan, pengurangan susut dan limbah pangan, serta pengembangan platform multipihak untuk transformasi tata kelola sistem pangan di Indonesia.